Gw bukan orang yang hidup tanpa tujuan, tanpa ekspektasi dan tanpa target. Tapi disisi lain gw orang yang fleksibel dan cenderung apa adanya menjalani hidup. (iya ngga sih? Mulai absurd)
Entahlah, waktu dulu gw SMA yang gw inget dari pelajaran ekonomi itu cuma bu Hukama yang suka banget bikin kumis dari tinta spidol karna hobinya ngapus papan tulis pake tangan trus ga sengaja ngelap atas bibirnya dengan tangan yang sama (maafkan aku bu hukama)
Setelah kuliah jurusan akuntansi gw lebih sering ga ngertinya kalo pak “Samuel rizal” mulai menjelaskan segala macam teori makro ekonomi, rumitnya kurva2 mikro ekonomi, bikin rasio plus analisisnya, asumsi apa yang terjadi tahun depan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 10%, inflasi 12%, harga BBM naik 15%. Ketimbang kuliah gw malah lebih suka nongkrong di cilo sambil nyomotin gorengan alm, pak unus.
Setelah melalui masa masa galau cetar membahana, pertimbangan yang cukup menguras perut (aposeeee), melakukan dialog hati dan pikiran serta asumsi kondisi politik ke depan (ceile, ngomong gw kya orang bener yak) faktanya emank gitu kok, kondisi Negara carut marut gini kan juga gara gara kontribusi para akuntan (mungkin) lupa sama kode etik. Sering gw bertanya, kenapa Negara gw ini nggak pake pembuktian terbalik dalam sebuah kasus kasus fraud kya yang telah dilakukan di Negara Negara maju biar auditor gak harus lagi mencari-cari temuan meskipun tidak material seperti di Negara ini? (koplak ga sih klo gw nanya gini)
Yah gw juga harus realistis donk, kapasitas gw apasih, jam terbang gw juga masih cetek banget, salah benernya aja masih banyakan salahnya. Nah, gw sadar betul gw masih harus banyak belajar. Ya Allah, kenapa kesadaran seperti ini terlambat sekali,. Coba dialog dialog gini, gw bangun dari 10 tahun yang lalu mungkin gw akan lebih serius dalam belajar. Tapi, bukankah setiap proses adalah dalam hidup adalah belajar (pembenaran :p tetep loh)
Kalo kata pepatah “seribu langkah dimulai dari langkah pertama” inilah yang gw mulai, sebelum gw bicara Turbulensi politik yang meninggi dan penuh intrik juga yang akhirnya secara makro akan mempengaruhi kondisi ekonomi lantas ujung ujungnya adalah kesejahteraan masyarakat Indonesia. Gw mulai dengan hati yang lapang menjalani profesi gw yang sekarang, akuntan di Rumah Sakit kecil di pinggiran Jakarta, Rumah sakit yang 65% pasiennya merupakan tanggungan Gakin, SKTM, buruh pabrik yang dibayarin Negara dengan cara mundur hampir setengah tahun. (awalnya frustasi tiap kali bikin cashflow ciin)
Sampai di titik ini, makin hari makin ada aja masalah dan masalah, makin sering gw ngeluh, update status ga jelas (emang status gw penah jelas yak?) hehehe.. apalagi tiap akhir tahun gini, gw selalu jadi orang yang ditungguin, dituntut untuk cepat. Rasanya kya mau tumpah semua isi otak gw (tuh kan ngeluh lagi) seolah olah gw ga punya waktu untuk menikmati hidup gara gara sederet angka, seakan akan kehilangan banyak moment untuk ngumpul plus jalan sama temen temen gw (haiya makin aja ngeluhnya) serta ga beranjak dari posisi high quality jomblo (priiiiit… out of the topic plis)
Berlebihan, padahal sebenernya ga senista itu kondisi gw. Gw aja lupa bersyukur. Lupa bersyukur sama langit senja dengan siluet indah di sore hari, lupa sama mimpi mimpi besar gw, lupa berfikir kalo setiap masalah adalah proses untuk menempa gw, lupa bersyukur kalo gw masih dikasi kesempatan untuk berbuat untuk ummat dan tidak terjebak pada aktivitas sia sia. Lupa bersyukur sama nikmat sehat (padahal tiap hari pemandangannnya orang sakit mulu yak)
*plaaaaaak… seperti ditampar *
“Wahai orang orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya…” (Qs 2:282)
Dan dzikir seorang akuntan adalah mencatat
Komentar
Posting Komentar